Memahami ‘Jenis’ Kecerdasan Anak Didik
Sebagai pendidik di sekolah, pasti kita
juga merasa bertanggung jawab terhadap keselamatan anak didik. Kita akan merasa
cemas jika melihat mereka berlarian menyeberang di jalan raya, melompati pagar
sekolah dan jendela-jendela kelas, bermain-main di lingkungan yang ramai dengan
lalu-lalang kendaraan bermotor, serta masih banyak lagi kekhawatiran yang
muncul ketika mereka berulah. Kadang tanpa sadar kita akan segera melarang
mereka ini itu atau bahkan langsung memarahi mereka.
Begitu pula di dalam kelas, sering kita
menjumpai seorang anak yang asyik memainkan meja dan alat tulisnya sehingga
menghasilkan irama yang gaduh, atau kita jumpai seorang anak yang lebih
menyukai berkeliling kelas dan bermain-main daripada duduk diam dan menulis
serta mangarjakan tugas. Sering pula kita jumpai seorang anak yang senang
menyanyikan lagu-lagu kesukaan mereka sambil beraktivitas. Kemudian di lain
pihak ada juga yang lebih suka duduk manis dan mengerjakan tugas bersama
teman-temannya dan menggerombol membentuk kelompok sendiri.
Selain itu, pernah pula penulis jumpai
seorang anak yang hobi menirukan tingkah guru. Misalnya pada waktu guru
memberikan contoh gerakan berenang seekor ikan, dia akan langsung berkomentar
dan menirukan apa yang dilakukan gurunya. Hal-hal di atas kadang disikapi guru
dengan kasar dan tidak jarang guru langsung memotong aktivitas mereka begitu
saja. Mereka langsung diminta diam di tempat duduk dan melanjutkan tugas
mereka.
Sikap seperti ini tidak salah jika memang
diperlukan. Seperti pada waktu guru akan memberikan penjelasan dan butuh
konsentrasi maksimal dari anak untuk memahami apa yang akan disampaikan oleh
guru. Atau pada waktu ada seorang anak yang bertanya kepada guru dan meminta
penjelasan lebih lanjut mengenai materi pembelajaran. Bisa juga dilakukan jika
sedang dilakukan evaluasi pembelajaran dan dibutuhkan suasana yang tenang untuk
menyelesaikan soal-soal.
Akan tetapi alangkah jahatnya jika dalam
suasana santai, misalanya pada waktu istirahat atau pada waktu mereka
ingin menghilangkan kejenuhan belajar,
tiba-tiba keasyikan mereka dihentikan disertai amukan dari guru. Ada kalanya
seorang anak bermain dengan alat tulisnya dan hal itu mendapat respon positif
dari teman-temannya. Hal ini karena memang permainan olah suaranya bagus.
Sehingga tanpa sadar seisi kelas akan mendengarkan dan menikmati suara-suara
yang dihasilkan alat tulis seorang teman mereka tadi.
Atau pada waktu tugas yang diberikan
oleh guru telah diselesaikan oleh beberapa anak, dan mereka merasa jenuh jika
harus menunggu teman-temannya. Kemudian mereka melakukan kegiatan bersalto-ria
di sebelah tempat duduk mereka. Kegiatan seperti ini bisa mengganggu kegiatan
belajar mengajar tapi bisa pula tidak. Bahkan dengan kegiatan seperti ini, positifnya
adalah tanpa sadar mereka mulai berlatih materi-materi dalam ilmu olahraga.
Akan sering pula kita jumpai beberapa
anak yang belum selesai mengerjakan tugasnya akan tetapi mereka sudah
berlalu-lalang mengganggu teman-teman mereka dengan mengajaknya berbicara,
bercanda, bahkan jika dia termasuk anak yang usil bisa saja dia akan mengganggu
lebih parah lagi. Seperti menggelitik temannya, mencolek-colek temannya, atau
menendang-nendang tempat duduk temannya. Kegiatan anak semacam ini tentu sangat
mengganggu dan membuat anak lain merasa tidak nyaman belajar.
Sebenarnya jika ditinjau dari
karakteristik anak usia Sekolah Dasar, perilaku-perilaku seperti yang
dicontohkan tadi bukanlah termasuk perilaku-perilaku menyimpang. Adapun
karakeristik dan kebutuhan mereka dapat dibahas sebagai berikut.
a) Senang
bermain,
karakteristik ini menuntut guru SD untuk
melaksanakan kegiatan pendidikan yang bermuatan permainan, lebih–lebih untuk
kelas rendah.
b) Senang
bergerak,
orang dewasa dapat duduk berjam-jam, sedangkan
anak SD dapat duduk dengan tenang paling lama sekitar 30 menit. Oleh karena
itu, guru hendaknya merancang model pembelajaran yang memungkinkan anak
berpindah atau bergerak. Menyuruh anak untuk duduk rapi untuk jangka waktu yang
lama,
dirasakan anak sebagai siksaan.
c) Senang
bekerja dalam kelompok,
di sini anak belajar aspek-aspek yang penting dalam
proses sosialisasi, seperti: belajar memenuhi aturan-aturan kelompok, belajar
setia kawan, belajar tidak tergantung pada diterimanya di lingkungan,
belajar menerima tanggung jawab, belajar bersaing dengan orang
lain secara
sehat (sportif), mempelajari olah raga,
serta belajar keadilan dan demokrasi. Hal ini membawa implikasi bahwa guru harus merancang model pembelajaran yang
memungkinkan anak untuk bekerja atau belajar dalam kelompok.
d) Senang merasakan
atau memperagakan sesuatu secara langsung. Ditinjau dari teori perkembangan kognitif, anak SD memasuki tahap
operasional konkret. Dari apa yang dipelajari di sekolah, ia belajar
menghubungkan konsep-konsep baru dengan konsep-konsep lama. Siswa mulai
membentuk konsep-konsep tentang angka, ruang, waktu, fungsi-fungsi badan, peran
jenis kelamin, moral, dan sebagainya. Bagi anak SD, penjelasan guru tentang
materi pelajaran akan lebih dipahami jika anak melaksanakan sendiri, sama
halnya dengan memberi contoh bagi orang dewasa. Dengan demikian guru hendaknya
merancang model pembelajaran yang memungkinkan anak terlibat langsung dalam
proses pembelajaran.
Satu hal lagi yang
perlu diingat adalah, bahwa setiap anak sebenarnya telah dikaruniai kecerdasan
oleh Tuhan. Seperti yang dikemukakan oleh Gardner, ada delapan kecerdasan yang dikenal dengan sebutan multiple intelegensi. a) Kecerdasan linguistik (tata
bahasa); b) Kecerdasan matematis-logis;
c) Kecerdasan kinestetis-jasmani;
d) Kecerdasan musical;
e) Kecerdasan
interpersonal (antarpribadi);
f)Kecerdasan intrapersonal
(intrapribadi); g) Kecerdasan naturalis;
h) Kecerdasan spasial. Mari kita pahami lebih
lanjut, termasuk anak yang memiliki kecerdasan apakah mereka?
BACA JUGA:
BACA JUGA:
0 Response to "Memahami ‘Jenis’ Kecerdasan Anak Didik"
Post a Comment
Saya persilakan menambahkan komentar untuk melengkapi postingan blog di atas.
Semoga bermanfaat & menginspirasi buat semua...