Bercermin kepada Semangat Putra Putri di Pelosok Negeri
Bercermin kepada
Semangat Putra Putri di Pelosok Negeri
Masih terbayang kaki-kaki telanjang
menapaki tanah basah sepanjang jalan, penuh lumpur melekat. Menginjak
rerumputan hijau yang tumbuh memenuhi halaman sekolah. Plastik tipis
berwarna-warni seharga Rp 5.000 menjadi satu-satunya pelindung mereka dari
guyuran air hujan di musim penghujan. Baju seragam basah terciprat air yang tak
sengaja masuk melalui plastik yang berlubang-lubang menambah lusuh seragam yang
sudah usang. Buku-buku bawaan lembab mengembun. Tinta yang tergores di atas
kertasnya tak lagi berupa tinta utuh, tetapi sudah bercampur sedikit air hujan.
Sebelum lanjut, belajar dulu yuk tentang Pengertian Edukasi, Macam Edukasi, dan Manfaat Edukasi
Sebelum lanjut, belajar dulu yuk tentang Pengertian Edukasi, Macam Edukasi, dan Manfaat Edukasi
Sekolah beratap seng sudah berkarat,
penuh lubang, dengan lantai semen bercampur tanah, serta dinding papan yang sudah
melapuk termakan usia, menjadi tempat tujuan manusia-manusia yang masih kecil
itu. Beruntung mereka yang menduduki kelas 1, 2, 5, dan 6 karena mereka
mempunyai ruang kelas yang masih layak pakai. Meskipun bukan ruang kelas
berporselin dan hangat di waktu hujan karena atap yang tertutup rapat dengan
asbes seperti ruang kelas yang ada di sekolah-sekolah di Pulau Jawa.
Keadaan yang demikian bukan merupakan
suatu penghalang bagi mereka untuk menuntut ilmu meskipun perjalanan menuju
sekolah bukan melalui trotoar jalan raya yang mulus. Tidak terpancar sedikitpun
wajah keluh kesah dengan kondisi yang sejujurnya baru saya alami pada waktu
itu, di akhir Januari 2013. Saat itu baru sekitar 3 bulan saya bertugas di
Sekolah Dasar Inpres Nggalak, sebuah sekolah di Kecamatan Reok Barat Kabupaten
Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Saya yang asalnya bertempat tinggal di
pusat Kecamatan Dampit Kabupaten Malang, terbiasa melihat anak-anak berseragam
lengkap yang berangkat sekolah dengan jalan kaki di aspal, jalan paving, maupun
trotoar jalan raya. Ada diantaranya yang berangkat naik ojek, ataupun diantar
orangtuanya masing-masing. Ada pula yang naik angkutan umum bahkan diantar
menggunakan mobil pribadi orangtuanya. Dengan tiba-tiba saya melihat
pemandangan yang sungguh berbeda 180° dengan sebelumnya.
Di Desa Nggalak belum ada PDAM yang
masuk untuk mengalirkan air ke rumah-rumah penduduk termasuk ke sekolah,
puskermas pembantu, dan kantor desa sebagai sarana umum masyarakat setempat.
Satu-satunya sumber air untuk kehidupan sehari-hari hanya ada di 2 mata air
yang terdapat di Desa Nggalak ini. Keadaan tanpa air memaksa anak-anak untuk
mengambil air di dalam jerigen dari mata air untuk diisikan ke kamar mandi
sekolah setiap pagi di musim kemarau. Keadaan inilah yang mengharuskan mereka
rajin ke mata air setiap hari untuk mengambil air di sana agar kebutuhan akan
air bias terpenuhi.
Mental manja sungguh tidak dibutuhkan di
sana jika ingin bertahan hidup. Selain tidak tersedia air yang mengalir ke
rumah penduduk, di desa ini juga belum ada listrik dari PLN yang masuk. Hanya
ada orang-orang tertentu yang mempunyai mesin diesel atau genset sebagai sumber
listrik saat dibutuhkan. Sedangkan orang-orang yang tidak memiliki akan
menyalur kepda mereka guna kebutuhan akan listrik saat malam tiba. Penyaluran
ini tentu tidak gratis. Ada iuran-iuran sejumlah kesepakatan, yang dibayarkan
kepada pemilik mesin tersebut. Setiap harinya, listrik biasanya akan menyala
selama 3-4 jam pada pukul 18.00-22.00. hidup dengan listrik yang demikian masih
beruntung daripada mereka yang tidak mampu membayar iuran tersebut, kemudian
hanya memakai lampu pelita di malam hari.
Hal yang demikian tidak membuat
anak-anak berhenti belajar. Mereka biasanya akan mengerjakan tugas saat sore
hari sebelum gelap. Sebenarnya hamper tidak ada waktu istirahat untuk mereka
dari pagi sampai malam. Sepulang sekolah pukul 12.30 mereka pulang, lalu
biasanya lanjut mencari kayu bakar untuk memasak di rumah, atau pergi ke kebun
sekedar membantu orangtua. Baru sekitar pukul 14.30 mereka pulang lagi dan
pergi ke mata air. Setelah itu berangkat belajar sore dari pukul 15.00-16.30.
saat itulah mereka mengerjakan tugas dari guru. Sepulang belajar sore, mereka
akan membantu memasak di rumah. Bukan masakan mewah yang lengkap dengan semua
kudapannya, hanya nasi, beruntung jika ada sayur daun ubi, daun papaya, papaya
muda, ataupun labu siam dan daun pakis. Akan lebih baik jika bapak mereka
mendapat ikan dari sungai atau laut di desa sebelah. Pada malam hari biasanya
masih ada rutinitas yang menunggu mereka, memecah kemiri.
Rutinitas yang demikian tentu sangat
jauh berbeda dengan anak-anak di kota yang serba ada. Karakter mandiri dan penuh
rasa syukur pelan-pelan akan terbentuk dari kebiasaan mereka. Bukannya mental
manja dan suka mengeluh sehingga tidak bias mensyukuri karunia Sang Pencipta.
Tidak jarang dari mereka ini adalah mutiara-mutiara terpendam yang sanggup
memaknai bahwa hidup ini adalah perjuangan.
Kini, sudah bukan saatnya kita
membiarkan anak-anak didik kita menjadi tukang mengeluh akan keadaan yang
dialaminya. Mereka harus sadar bahwa kehidupan mereka itu masih jauh lebih baik
daripada mereka yang hidup di pedalaman. Sudah bukan tempatnya lagi mereka
mengeluhkan tentang bekal makanan yang disiapkan ibu dengan susah payah karena
anak-anak di pedalaman biasa membawa bekal ubi rebus. Bukan saatnya mereka
mengeluh jika harus berjalan kaki ke sekolah. Karena anak-anak di pedalaman
harus menempuh jarak yang cukup jauh ke sekolah dengan kondisi yang masih
bertanah dan berbatu. Bukan saatnya mereka merengek meminta mainan terbaru ini
dan itu, karena anak-anak di pedalaman untuk mencari buku pelajaran saja harus
bersusah payah pergi ke toko buku di kota dengan ongkos yang tidak sedikit.
Bukan saatnya anak-anak kota diajari berfoya-foya membeli baju setiap bulan
bahkan setiap minggu, karena mereka di pedalaman masih rela memakai baju
seragam usang, karena untuk membeli baju seragam mereka harus pergi ke toko
baju yang ada di kota.
Di zaman yang sudah sangat modern ini,
sangat penting penanaman karakter yang baik kepada calon-calon generasi emas
Indonesia. Hal ini semata-mata untuk memperbaiki generasi muda yang sudah
bermoral bobrok. Sehingga bukannya mereka ikut membangun negeri akan tetapi
mereka hanya sibuk dengan kesenangan dunianya sendiri yang bersifat sementara.
Harapan saya, semoga tulisan ini dapat menggugah pembaca sekalian agar
bersama-sama berusaha menanamkan karakter yang baik kepada mereka, anak-anak
calon generasi emas Indonesia.
Pernah Diterbitkan di Koran Pendidikan edisi 490 Desember 2013
Mau melihat-lihat dokumentasiku selama di sana? Ikuti tautan berikut ini:
https://www.amiwidya.com/2013/10/desa-nggalak-kecamatan-reok-barat.html?m=1
Mau melihat-lihat dokumentasiku selama di sana? Ikuti tautan berikut ini:
https://www.amiwidya.com/2013/10/desa-nggalak-kecamatan-reok-barat.html?m=1
Memang ya daerah Timur Indonesia masih belum rata listriknya. Semoga pemerintah RI lebih concern soalnya banyak penerus bangsa disana.
ReplyDeleteAamiin... Sekarang fasilitas uda semakin memadai kok Mb, terutama daerah mana itu yg baru aja pembangkit listrik tenaga anginnya jadi. Kalo gak salah di Sumatera
Deleteluar biasa ya perjuangan mereka.. semoga semua pelosok negri Indonesia sudah dapat menikmati listrik, secepatnya. Aamiin
ReplyDeleteAamiin... Dan semoga bisa membuat kita semakin bersyukur dg keadaan di kota
DeleteMampir lagi kesini setelah baca sebelumnya tentang penyelamat peradaban digital desa yg tertinggal. Aku suka setiap tulisannya yang disampaikan penuh arti, dan benar faktanya.. jadi ingat aku juga pernah ke sebuah sekolah yg rusak waktu itu tugas ku hanya satu hari saja jadi relawan. But itu pengalaman yg sangat berharga membuka mata lebih luas LG. Harapan Sy semoga seluruh anak bangsa bisa meraih cita2 ya dan ikut mengharumkan negeri ya
ReplyDeleteAamiin... Yah meskipun jd relawan sehari tp pengalamannya bisa dipakai seumur hidup ya Mb?
DeleteKalau kita pikir beruntungnya kita, tinggal di kota besar dengan akses listik . mati listrik sejam aja , sebel
ReplyDeleteIya nih, kadang suka menggerutu dg keadaan. Padahal ada yg lebih parah dr kita ya?
DeleteWah masih ada ya Mba desa yang sulit listrik dan air. Ya Allah nggak kebayang betapa sulit hidup di sana. Semoga penyebaran listrik bisa semakin merata lagi
ReplyDeleteIya Mbak, sampai sekarang masih ada, beruntung kita yg tinggal di kota ini
DeleteSetuju, kalau mental manja masih diterapkan dan belum hilang untuk anak-anak jaman now, entah jadi apa masa depan bangsa
ReplyDeleteSesekali mereka bisa dilempar ke daerah terpencil supaya bisa merasakan kalo ada yg lebih parah kondisinya daripada mereka
DeleteSungguh mbak.. kalo kumpul sama anak-anak dari daerah yang ada di luar jawa terutama anak-anak di pedalaman. kerasa kental banget nasionalisme mereka.. mereka itu bener-bener pengen Indonesia lebih maju.. smoga ke depan Indonesia lebih baik ya mbak..
ReplyDeleteIya Mbak, di desa masih polos, apalagi yg susah sinyal. Gak bakal terkontaminasi politik... ehh wkwkwk...
DeleteBeruntung ya kita yang tinggal dikota besar dapat menikmati manfaat dari listrik. Semoga penerangan bisa merata di seluruh Indonesia
ReplyDeleteAamiin.. Semoga sesegera mungkin pembangunan bisa merata seluruh Indonesia
DeleteKeren banget ya semangat mrk. Ak selalu yakin klo lingkungan sederhana adl pisau pembelajaran terbaik. Namun, belajar dr pengalaman bahwa lingkungan sederhana kdg didominasi oleh teman yg berpola pikir pendek adl PR besar buat kita semua untuk trus meningkatkan rs pentingnya belajar di pemikiran mrk. Ingat zaman SD di desa dulu. Suka sedih pas udh tamat tmn2 milih bekerja seadanya aja dibanding sekolah ke jenjang lbh tinggi. Pdhl bukannya ga ad biaya, tp kesadaran pentingnya pendidikan msh kurang.
ReplyDeleteYup, itulah minusnya. Bahkan ad ayg pengaruh buruk dr orang tua yg nggak peduli sm pendidikan mereka. Yang penting bs makan kenyang uda cukup
DeleteEmang agak2 gak percaya ya mbak, kalau zaman skrng msh ada yg susah payah ke sekolah. Tapi emang katanya sih nyata terjadi begitu.
ReplyDeleteYa sbg ortu mungkin kita mulai menunjukkan realita kyk gtu trus membiasakan anak supaya mensyukuri kondisinya plus mendisiplinkan anak spy gk manja krn faslitas kali ya...
Yup, kalo ragu, kapan2 bisa lah mapir di kab. Manggarai Mom wkwkwk... Ada kok teman saya yg jd guru di sana smp sekarang
DeleteMbaaak, keren banget! Salam hormat dariku untukmu wahai para guru, tenaga pendidik seIndonesia raya yang rela mengajar bahkan sampai di pelosok-pelosok negeri ini. Merinding
ReplyDeleteKekerenan ini sudah berakhir Mb, sy uda balik ke tanah Jawa wkwkwk... Tp masih ada teman2 yg balik ke desa2 mengabdi utk negeri.
DeleteBetuuul anak jaman now harus lebih strong! Semoga anak kita kelak mempunyai mental juara dan semangat yang tidak surut yaa
ReplyDeleteAamiin... Harus terus digembleng biar mereka jd anak yg gak gampang mengeluh, pandai bersyukur, juga bisa menerima keadaan
DeleteMembaca tulisan ini membuat saya malu, kadang saya masih sering ngeluh padahal capeknya saya tidak sebanding dengan mereka. Salut sama semangat mereka semua. Makasih Mbak udah sharing pengalamannya, membuat saya sadar biar nggak gampang ngeluh lagi.
ReplyDeleteSama aja Mbak, namanya manusia sering khilaf. Saya juga biasanya gitu kok wkwkwk...
DeleteBaca cerita kakak jadi ngerasa saya itu dan anak anak udah enak banget hidupmya, semua serba mudah dan cepat. Bayangkan anak anak yang di pelosok sana.
ReplyDeleteiya nih, kita uda biasa menikmati segala sesuatunya dengan mudah, kadang juga masih suka mengeluh. Buat catetan aja deh...
DeleteSebagai seorang guru juga aku sangat menghormati perjuangan mereka yg mengabdi di pelosok daerah. Karena keterbatasan disana tidak menurunkan semangat mereka untuk tetap mengajar.
ReplyDeleteiya Mbak, perjuanagn untuk hidup yang berat kalau mengajar di pelosok itu...
DeleteBetapa masih timpangnya kondisi di negara kita ya. Di satu sisi ada yang berlimpah fasilitas, segalanya mudah. Di tempat lain ada yang serba kekurangan. Semoga segera terwujud pemerataan di negeri kita ya..
ReplyDeleteAamiin... iya, sudah saatnya membangun negeri dari pinggiran, supaya mereka juga bisa segera menikmati fasilitas seperti di kota2
Deleteini pasti jadi pengalaman yang sangat berharga ya mba, seru banget baca kisahnya.
ReplyDeleteBetul, benar2 gak bisa dinilai sm uang. Sekali seumur hidup nih. Hikmahnya sangat besar jg.
DeleteInget jaman sma dulu...krn bandel, jd saya di kirim ortu sekolah di pedalaman jambi...dan luar biasa disana mereka harus berjalan kaki 4km utk sampe ke sekolah
ReplyDeleteWah, sepertinya seru nih pengalamannya. Boleh donk kapan2 dishare di blognya Mbak. Pengen baca nih
Deletemental mereka kuat-kuat, semoga kelak ada yang jadi Presiden... :D
ReplyDelete