Urgensi Perlindungan Investor dalam Perannya Sebagai Konsumen di Era Digital
“Aku harus melunasi uang cicilan tabungan untuk berangkat haji bapakku. Besarnya 70 juta rupiah. Karena uang tabungan itu sudah raib di genggaman sebuah koperasi syariah lokal di daerahku sini.” Seorang teman saya sedang bercerita melalui telepon.
“Apa? 70 juta Bunda? Hilang kemana? Kok bisa?! Apa tidak ada surat perjanjian bermaterainya? Karena setahuku, kita menabung untuk haji pasti ada surat perjanjian bermaterainya.” Iya, saya sangat kaget juga kala mendapat kabar buruk dari teman saya. Masih baru 2 tahun menikah, punya anak, kemudian ibunya meninggal. Tahu-tahu, dia harus menanggung uang yang hilang sebesar 70 juta yang akan digunakan untuk melunasi pemberangkatan haji bapaknya.
Usut
punya usut, ternyata sebelumya, Ibu bapaknya ini menabung haji menggunakan dana
talangan haji. Nah, untuk pelunasan dana talangan haji dan keperluan
keberangkatan hingga kepulangan, mereka berdua menabung di sebuah koperasi
syariah lokal. Koperasi syariah ini sebenarnya sudah berdiri selama 20 tahun.
Jadi mereka merasa aman-aman saja menyimpan uang mereka di sana.
Ternyata,
ketika akan mengambil uang tabungan, likuiditasnya sangat susah. Awalnya dijanjikan
beberapa bulan bisa cair. Tetapi kenyataannya hanya bisa diambil 1 juta per
bulan. Proses ini berlangsung selama 2 bulan saja. Pada bulan berikutnya macet,
tidak bisa ada penarikan sama sekali hingga bapak temanku berangkat haji. Setelah
keberangkatan, dana bisa cair lagi 1 jutaan per bulan selama kurang lebih 10
bulan. Setelah itu berhenti lagi hingga bulan Juni kemarin. Mau lapor kepada
pihak berwajib, bukti yang dimiliki kurang kuat. Karena tidak ada bukti hitam
di atas putih berupa surat perjanjian bermaterainya.
Menurut
cerita dari teman saya, uang nasabah yang terkumpul, oleh koperasi dipinjamkan
sebagai modal usaha kepada nasabah lainnya. Jadi para nasabah yang menyetor dan
menabungkan uang ke koperasi, selain berperan sebagai konsumen, secara tidak
langsung juga berperan sebagai investor. Apalagi besarnya uang tabungan juga
lumayan, rata-rata antara puluhan hingga ratusan juta rupiah. Sudah pasti imbal
baliknya juga lumayan. Begitu mungkin pikiran para nasabah yang kini menjadi
korban.
Sungguh
malang nasib para nasabah investor ini, mereka harus menanggung ketidakjelasan
keberadaan uang mereka selama bertahun-tahun. Diperoleh kabar pula bahwa uang
para investor yang telah dipinjamkan sebagai modal usaha ini macet di tangan
para nasabah peminjamnya. Sehingga mengakibatkan defisit dan kerugian pada
koperasi. Dampakya pun menyebar hingga dirasakan banyak nasabah yang
menabungkan uangnya. Kemudian yang sangat disayangkan adalah tidak adanya
perlindungan investor sebagai konsumen di koperasi syariah tersebut.
Dari
cerita ini, bisa diambil sebuah pelajaran yang sangat berharga. Perlindungan
investor sebagai konsumen itu sangat penting. Karena yang menikmati menjadi
konsumen bukan hanya para nasabah peminjam, atau para pembeli yang mengonsumsi
langsung, juga orang yang membutuhkan jasa untuk dipakai dirinya sendiri.
Tetapi para investor yang berinvestasi dari hasil membeli barang, atau ikut
serta dalam jasa penyimpanan uang seperti cerita di atas, juga patut untuk
mendapatkan perlindungan.
Investor Sebagai Konsumen
Di dalam Pasal 1 angka 2 UU No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, juga disebutkan bahwa,”Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia
dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain,
maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.” Maka dari itu,
investor yang membeli barang dan memakai jasa, kemudian menyimpannya dalam
jangka waktu tertentu atau dititipkan untuk dikelola oleh pihak lain, juga bisa
dikategorikan sebagai konsumen.
Selama
ini, banyak anggapan yang beredar di masyarakat bahwa investor sudah pasti
banyak uang, berkuasa, bertindak sebagai produsen, dan mengesampingkan adanya
perlindungan konsumen. Namun pada kenyataannya, pernyataan tersebut tidak
sepenuhnya benar. Karena para investor juga ada yang berasal dari kalangan masyarakat
pada umumnya, bukan pejabat atau penguasa, bukan produsen, dan hanya sebagai
konsumen. Seperti yang sudah saya ceritakan di awal tadi.
Selanjutnya,
dalam menjalankan perannya sebagai konsumen, para investor sudah pasti
memerlukan perlindungan. Untuk apa? Untuk melindungi aset investasi yang sudah
dibelinya. Baik itu berupa barang seperti properti dan emas, maupun berupa jasa
manajerial investasi seperti di reksa dana dan deposito.
Perlindungan Investor di Era Digital
Zaman
semakin canggih, di era digital ini segalanya juga didigitalisasi. E-commerce
semakin marak, start up digital pun bertebaran di mana-mana. Bahkan akhir-akhir
ini istilah fintech atau financial
technology semakin sering digaungkan. Perkembangan semacam ini membuat para
investor juga mulai menemukan cara-cara baru untuk berinvestasi secara digital.
Dengan
adanya perkembangan teknik investasi yang memanfaatkan teknologi digital,
mengharuskan pihak berwajib untuk berupaya melindungi investor dari kasus-kasus
penipuan berkedok investasi di dunia maya. Baca saja cerita di atas, investor
sebagai konsumen di koperasi lokal yang sudah berdiri 20 tahun saja bisa
terjebak kerugian. Apalagi investor yang berperan sebagai konsumen produk
investasi secara digital? Kalau belum mengenal betul, sudah pasti sangat rawan
terserang tindak kejahatan berkedok investasi digital.
Di Indonesia, perlindungan konsumen masih diatur
dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Berdasarkan
Pasal 1 angka 1 UUPK disebutkan bahwa Perlindungan konsumen adalah segala upaya
yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada
konsumen. Adanya hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen berupa
perlindungan terhadap hak-hak konsumen. Hukum ini diperkuat melalui
undang-undang khusus. Tujuannya memberi harapan agar pelaku usaha tidak
bertindak sewenang-wenang dan merugikan hak-hak konsumen. Ini adalah
pengertiannya secara umum.
Dari pengertian di atas, masih perlu dijabarkan lagi
agar perlindungan konsumen mengarah secara khusus terhadap para investor di
dunia digital. Salah satu cara melindunginya adalah dengan mengawasi berbagai
start up yang menyediakan layanan jasa keuangan dan investasi digital di
Indonesia. Pengawasan ini dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Apa itu OJK? Dilansir dari www.ojk.go.id, OJK adalah lembaga negara yang
dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 yang berfungsi
menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan
kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. Baik di sektor perbankan, pasar modal,
dan sektor jasa keuangan non-bank seperti asuransi, dana pensiun, lembaga
pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya.
Dengan demikian sudah jelas bagaimana dan ke mana
arah tujuan dibentuknya OJK. Kini, di era digital pun, OJK tetap berperan
penting untuk mengatur dan mengawasi setiap lembaga dan jasa keuangan. Baik itu
yang berbentuk konvensional, maupun yang digital.
Kiat #amanbertransaksi Bagi Investor di Era Digital
Meskipun
sudah ada perlindungan konsumen seperti yang diharapkan para investor,
sebelumnya mereka juga perlu melindungi dirinya sendiri dan bertindak sebagai
konsumen yang cerdas. Sebab di era digital ini, penipu dan pencurinya juga
lebih cerdas lagi. Karena para penjahat ini juga menggunakan kecanggihan
teknologi digital. Lalu bagaimana caranya melindungi diri sendiri? Simak
kiat-kiat di bawah ini!
- Pastikan fitur investasi digital telah diawasi OJK sehingga membuat konsumen #amanbertransaksi dan tidak khawatir akan kehilangan aset investasinya.
- Telusuri
terlebih dahulu review dari para pengguna sebelumnya. Review ini bisa dilacak
melalui komentar pengguna di aplikasinya, sosial media start up digitalnya,
blog, atau youtube. Bahkan terkadang ada juga review dari penggunanya langsung
yang dibagikan di sosial media masing-masing.
- Lebih #amanbertransaksi dengan menggunakan e-money. Karena bertransaksi secara cash berisiko akan adanya peredaran uang palsu dan kesalahan penghitungan.
- Simpan baik-baik bukti transaksi investasi Anda. Kalau perlu, lindungi juga dengan password khusus.
- Selalu gunakan smartphone atau laptop pribadi saat bertransaksi barang/jasa investasi secara digital. Mengapa? Agar terhindar dari pencurian data pribadi dan aset yang Anda miliki.
- Rahasiakan username dan password aplikasi start up investasi Anda. Jangan lupa ganti secara berkala passwordnya. Hal ini penting dilakukan agar akun Anda aman dari pencurian data.
- Lindungi perangkat smartphone dan laptop dari virus yang bisa menyerang benda-benda digital ini. Jadi perlu adanya update antivirus secara berkala agar perangkat kita aman.
- Jadilah konsumen yang cerdas dengan mewaspadai adanya tindak penipuan secara digital seperti melalui telepon, SMS, atau email.
Demikan
ulasan dari saya tentang urgensi perlindungan investor dalam perannya sebagai konsumen
di era digital, beserta cara-cara melindungi diri sendiri agar tidak terjebak
tindak kejahatan berkedok investasi digital. Karena sudah semestinya kita
selalu berhati-hati di zaman yang semakin canggih ini. Apalagi dalam mengelola
uang yang kita miliki, kita harus benar-benar memilih tempat yang paling tepat
dan terpercaya. Sekian dari saya, semoga menginspirasi…
Fintech yang dijamin OJK juga kadang-kadang bermasalah, tapi ya begitulah salah satu resiko investasi. Dan itu jauh lebih baik dibandingkan dengan kita investasi ke orang yang dikenal, yang datang nangis-nangis minta bantuan modal, dan setelah diberi modal, dia menghilang... hiks *ingat pengalaman*
ReplyDeleteAda berbagai macam resiko yang terjadi di dalam berinvestasi. Maka, untuk meminimalisir terjadinya hal-hal yang gak kita inginkan, sebaiknya pilih fintech yang berada di bawah OJK. Tapi meski begitu, kita sebagai nasabah tetap harus smart dan bersikap kritis. Makasih sudah berbagi
ReplyDelete