Secercah Cahaya dari Pahlawan Tunanetra untuk Tunanetra di Kota Pahlawan
Panasnya suhu udara sekitar Kota Gresik akhir-akhir ini benar-benar membuatku enggan melangkahkan kaki keluar rumah. Sesekali saja kuintip keadaan luar dari balik jendela. Sore ini pun, kulihat beberapa kendaraan berlalu-lalang di jalan raya depan rumah. Akan tetapi, buram kulihat sekitar. Ya, aku lupa mengenakan kacamata minus yang biasanya selalu menempel di depan mata.
Rabun jauh benar-benar membuat tak nyaman. Terlebih, saat musim penghujan tiba, aku harus ekstra berhati-hati ketika berada di bawah hujan. Karena meskipun mengenakan kacamata, penglihatan akan tetap terhalang oleh rintik hujan yang menempel di kacamata. Tentu saja hasil penglihatan ini akan tetap kabur, buram, dan tak jelas. Begitu juga ketika memakai lensa kontak, pasti merasa takut lensanya akan lepas dengan sendirinya jika kuusap kedua mataku dari cipratan air hujan.
Ingin rasanya aku mendaftarkan diri menjadi pasien operasi lasik mata. Namun apa daya, biayanya benar-benar di luar jangkauan. Memang anugerah Tuhan tak bisa ternilai dengan uang. Sepasang mata miopia saja membutuhkan biaya puluhan juta agar bisa kembali normal, belum lagi anugerah yang lainnya. Tak akan cukup kalkulator manusia untuk menghitungnya.
Sampai detik ini, kacamata dan lensa kontak masih menjadi dua benda penyelamatku untuk membantu melihat keadaan sekitar. Tanpa kedua benda ini, mataku tak akan berfungsi dengan baik. Padahal mata merupakan indra yang sangat penting bagi manusia. Bersyukur rasanya aku masih bisa melihat meskipun buram dan harus memakai alat bantu. Apa jadinya jika aku tak bisa menggunakan indra penglihatan ini sama sekali?!
Sempat terlintas dalam benakku. Tak bisa kubayangkan sebesar apa usaha dari para penyandang disabilitas tunanetra yang tak bisa melihat dunia sama sekali. Mereka pasti berusaha lebih daripada orang yang bisa melihat dengan normal.
Diskriminasi terhadap Penyandang Tunanetra
Pada umumnya, masyarakat mengganggap bahwa tunanetra itu orang yang sakit. Anggapan seperti ini menjadikan para penyandang tunanetra terlihat seperti orang yang lemah, tidak berdaya, dan perlu dikasihani.
Dilansir dari halaman sindonews, Ketua Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) Ismail Prawira Kusuma mengatakan bahwa para dokter pun tidak bisa memberikan surat keterangan sehat bagi tunanetra, sehingga memperkecil peluang bekerja di tempat tertentu yang mensyaratkan surat keterangan sehat.
Selain itu, ada faktor internal yang membuat tunanetra rentan terhadap perlakuan diskriminatif. Di antaranya adalah kepribadian para tunanetra yang cenderung eksklusif, tidak mampu bersosialisasi dengan baik, dan kurang percaya diri. Bisa jadi mereka merasa insecure dengan kondisi fisik yang tak bisa melihat kondisi di sekitar.
Perlakuan diskriminatif terhadap tunanetra juga kerap kali dijumpai di tempat-tempat umum, seperti di bank, dan di bandara. Karena tunanetra dianggap tidak cakap hukum, bodoh, dan tidak mengetahui tata cara di tempat-tempat tersebut. Penyandang tunanetra baru bisa dilayani, ketika didampingi orang lain yang mempunyai penglihatan baik.
Diketahui dari tempo.co yang berisi rangkuman saat menjadi bintang tamu dalam podcast Youtube Deddy Corbuzier berjudul Gue Buta Bukan Goblok, Komika Blindman Jack pun menceritakan bagaimana seorang tunaetra mengalami diskriminasi saat hendak bepergian. Menurut pria yang memiliki nama asli Zaka Ahmad ini, masih ada orang yang belum percaya kalau tunanetra bisa berwisata. Dia menganalogikan ketika dia menyerahkan tiket pesawat kepada petugas. Kalau calon penumpang lain disebut "mau liburan", "mau berkunjung ke sanak famili," sementara untuk difabel dibilang "mau berobat".
Itulah beberapa tindakan diskriminatif yang diterima oleh sebagian tunanetra. Selain hal-hal tersebut, di bidang pendidikan pun juga masih dispesialkan dengan hadirnya SLB (Sekolah Luar Biasa) bagi anak-anak berkebutuhan khusus termasuk tunanetra. Oleh karenanya, mereka juga menjadi terbiasa dengan kondisi yang dikhususkan, bukan dalam kondisi dunia luar pada umumnya. Demikian pula sebaliknya, masyarakat dan anak-anak dalam kondisi normal lainnya akan memandang penyandang tunanetra sebagai orang yang cacat dan tidak bisa bersosialisasi dengan kehidupan normal pada umumnya.
Pentingnya Pendidikan bagi Penyandang Tunanetra
Penyandang tunanetra, sebetulnya tetap bisa bersekolah di sekolah formal reguler dan bergabung bersama anak-anak lainnya, asalkan dia tidak memiliki kekurangan dalam hal intelektualnya. Masalahnya, di sekolah reguler belum tersedia layanan yang bisa dinikmati oleh penyandang tunanetra. Seperti ketersediaan guru, ketiadaan buku-buku yang menggunakan huruf braille, belum tersedianya printer untuk mencetak huruf braille, dan kurangnya beragam fasilitas lainnya untuk penyandang tunanetra.
Untuk mengatasi rasa kurang percaya diri pada penyandang tunanetra, diharapkan para tunanetra bisa mengikuti pendidikan nonformal dalam bentuk latihan kepemimpinan sosial, sanggar belajar, pondok pesantren, ataupun kursus keterampilan lainnya. Hal ini bermanfaat sebagai bekal hidup di tengah masyarakat umum. Dengan begitu, perlakukan diskriminatif akan hilang dengan sendirinya, karena para tunanetra memiliki kemampuan untuk bersosialisasi dengan mereka.
Selain melalui pendidikan formal dan nonformal, ada satu pendidikan lagi yang tak kalah penting bagi penyandang tunanetra, yaitu pendidikan informal. Di dalamnya mencakup pemberian dasar pendidikan moral, kemandirian, sosial, dan keagamaan. Selain itu, support sistem keluarga juga sangat penting untuk kemajuan masa depan anak yang menyandang tunanetra. Karena segala kebutuhan anak, utamanya bersumber dari keluarga.
Bisa dilihat, keluarga-keluarga yang mendukung minat dan bakat anak yang menyandang tunanetra, hasilnya bisa dibilang sangat memuaskan. Sebagai contoh, penyanyi kondang bersuara emas, Putri Ariani, adalah seorang tunanetra. Di balik kemampuan bernyanyinya yang luar biasa, ada keluarga yang sangat mendukung bakatnya. Dia disekolahkan di sekolah musik karena memang berbakat di bidang musik. Pada akhirnya, perjuangannya di America's Got Talent (AGT) 2023 membuahkan hasil dengan menyandang sebagai juara keempat.
Kemudian ada juga Tutus Setiawan, salah satu penerima Apresiasi SATU Indonesia Awards 2015. Dia merupakan penyandang tunanetra sejak usia 8 tahun. Dia telah mendirikan Lembaga Pemberdayaan Tunanetra di Surabaya sejak tahun 2003. Tak cukup sampai di sana kiprahnya, ternyata dia ini sudah menyelesaikan pendidikan S2-nya di jurusan Pendidikan Luar Biasa Unesa (Universitas Negeri Surabaya). Semua itu juga berkat dukungan dari orang tuanya yang tak mengenal putus asa dalam memberikan dan mencarikan pendidikan yang terbaik untuk anaknya.
Jadi, jangan anggap para penyandang tunanetra ini tidak memiliki skill, atau kelebihan apapun dalam kehidupan bermasyarakat. Semua bisa jadi bergantung pada pendidikan yang telah ditempuh oleh mereka. Baik itu pendidikan formal, nonformal, maupun informal yang telah mereka jalani. Ketiganya seharusnya bisa bersinergi untuk membentuk kepribadian dan membangun karakter positif penyandang tunanetra. Selain itu, ketiga pendidikan ini juga berperan penting dalam proses pengembangan bakat mereka agar bisa dimanfaatkan untuk kehidupan masa depan masing-masing.
Melunturkan Stigma Negatif Masyarakat terhadap Penyandang Tunanetra
Banyaknya tindakan, ucapan, serta fasilitas diskriminatif yang didapatkan para penyandang tunanetra, dirasa perlu adanya sebuah terobosan baru untuk meminimalisir hal-hal tersebut. Meskipun tidak bisa menghilangkan hingga tak ada sama sekali, setidaknya dengan usaha-usaha yang telah dilakukan, mampu mengurangi stigma negatif penyebab diskriminatif terhadap penyandang tunanetra.
Layaknya podcast Deddy yang bertajuk Gue Buta Bukan Goblok, Tutus juga bercita-cita membuktikan hal tersebut. Tutus merupakan sosok yang ingin melunturkan stigma masyarakat bahwa penyandang disabilitas tunanetra tidak hanya bisa bekerja menjadi tukang pijat, guru, atau pemain musik. Menurutnya, mereka punya potensi lebih untuk berkarier di bidang-bidang yang lebih luas. Segala hal telah dilakukan, dengan harapan, kelak para penyandang tunanetra bisa memberikan kontribusi yang besar untuk kemajuan Indonesia.
Tutus Setiawan, seorang penyandang tunanetra yang berprofesi sebagai guru PNS di sekolah khusus tunanetra Yayasan Pendidikan Anak Buta ini, memahami betul bagaimana diskriminasi dan stigma negatif yang didapatkan para tunanetra di masyarakat. Karena dia juga mengalaminya secara langsung. Berikut cerita singkat mengenai perjuangannya untuk memperjuangkan hak-hak para penyandang tunanetra dan untuk mendobrak stigma negatif di mata masyarakat.
Pahlawan Tunanetra untuk Tunanetra di Kota Pahlawan
Pada tahun 2003, Tutus telah mendirikan sebuah lembaga untuk para tunanetra, yaitu Lembaga Pemberdayaan Tunanetra (LPT). Melalui lembaga ini, Tutus bersama rekan-rekannya yakni Sugi Hermanto, Atung Yunarto, Tantri Maharani dan Yoto Pribadi berusaha memberikan pendampingan agar para tunanetra bisa sekolah di sekolah reguler.
Pria kelahiran Surabaya, 6 September 1980 ini juga menjelaskan bahwa tujuan didirikannya LPT adalah untuk memberikan pendidikan dan pelatihan bagi para tunanetra agar memiliki daya saing unggul. LPT memiliki 3 program utama, yaitu pendidikan dan pelatihan, advokasi, serta riset.
Tutus dan kawan-kawannya sangat bersemangat dalam mendidik dan mendampingi penyandang tunanetra di luar jam sekolah. Kegiatan yang dilaksanakan yaitu memberikan pelatihan komputer bicara, jurnalistik, operator telepon, MC, IT, dan berbagai jenis pelatihan lainnya. Sementara untuk advokasi, sengaja diajarkan untuk mendampingi para tunanetra yang seringkali mengalami hambatan saat berurusan dengan regulasi pada umumnya.
Bagi Tutus yang memiliki jiwa seorang pendidik yang tulus, mendidik anak-anak tunanetra memiliki keistimewaan tersendiri. Sebab mendidik tunanetra tidaklah sama dengan mendidik anak yang bisa melihat dengan normal. Diperlukan kreativitas yang sangat tinggi untuk menciptakan metode dan media pembelajaran yang tepat. Alat-alat peraga harus timbul dan bisa diraba, karena tunanetra memanfaatkan indra-indra lain yang masih berfungsi normal. Contohnya seperti indra pendengaran, indra perasa, dan sebagainya.
Selain berusaha meningkatkan aspek kognitifnya, Tutus juga melatih skill atau keahlian para tunanetra. Hal tersebut bertujuan agar mereka bisa hidup mandiri tanpa bergantung kepada bantuan orang lain. Misalnya seperti cara makan sendiri, dan bepergian sendiri.
Hebatnya lagi, Tutus memberikan pelayanan dan pendampingan ini secara gratis tanpa dipungut biaya sepeserpun. Sungguh luar biasa bukan?! Lebih lanjut lagi, segala usaha yang dilakukan Tutus benar-benar membuahkan hasil yang membanggakan. Buktinya, pernah ada siswa yang bisa meraih prestasi di dalam ajang Global IT Challenge di Jakarta. Dia adalah Alfian, alumni SMA Negeri 8 Surabaya, yang pernah meraih Juara II.
Tutus dan rekan-rekannya bahkan melakukan riset terkait fasilitas umum di Kota Surabaya. Apakah fasilitas tersebut sudah layak untuk teman-teman tunanetra ataukah belum. Beberapa fasilitas yang mereka coba antara lain Jembatan Penyeberangan Orang (JPO), Bus Suroboyo, Feeder Wirawiri Suroboyo, dan Masjid Al-Akbar Surabaya.
Sumber gambar: YouTube Radio Braille Surabaya |
Lantas, bagaimana kelanjutan dari kisah perjuangan Tutus dan rekan-rekannya ini? Simak beberapa paragraf di bawah ini!
Secercah Cahaya untuk Tunanetra
Tutus seorang pegiat sosial yang aktif untuk tunanetra. Guru tunanetra ini bahkan pernah mengikuti Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD) atau Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas yang diadakan oleh PBB pada tahun 2006. Dengan mengikuti konvensi tersebut, Indonesia wajib memberikan perlindungan dan memastikan jika disabilitas memiliki hak yang sama di mata hukum.
Namun hasilnya belum bisa dinikmati secara instan. Hasil konvensi tersebut belum bisa langsung dituangkan dalam bentuk UU. Akhirnya, Tutus dan rekan-rekan dari LPT berusaha maksimal menggandeng berbagai pihak untuk mendorong pemerintah melahirkan UU kedisabilitasan. Sampai akhirnya pada tahun 2016, Pemerintah Indonesia mengesahkan Undang-Undang Nomor 8 tentang Penyandang Disabilitas.
Selanjutnya, Tutus dan kawan-kawan masih akan terus memperjuangkan hak-hak penyandang disabilitas pada daerah-daerah lain di seluruh Indonesia. Karena UU yang disahkan masih berkutat pada aturan pusat, dan belum diterapkan merata di daerah-daerah.
Selain memperjuangakan regulasi, LPT juga bekerja sama dengan AJI (Aliansi Jurnalis Independen) Surabaya. Melalui kanal YouTube Radio Braille Surabaya (RBS), Tutus aktif menyuarakan hak-hak disabilitas. Harapannya, melalui kanal ini, akan semakin banyak orang-orang yang mendengarkan suara para tunanetra. Berikut link YouTubenya https://www.youtube.com/@radiobraillesurabaya. Buat kalian yang penasaran dengan sepak terjang para pahlawan untuk tunanetra ini, bisa segera subscribe kanalnya.
Setelah melakukan riset seperti cerita sebelumnya, LPT tidak tinggal diam. Mereka melakukan audiensi ke Pemerintah Kota Surabaya melalui Dinas Perhubungan (Dishub) untuk menyampaikan hasil riset mereka di lapangan. Mereka menyampaikan bahwa berbagai fasilitas umum yang ada di Kota Surabaya belum sepenuhnya layak untuk tunanetra. Pihak Dishub Kota Surabaya pun memberikan respon yang positif terhadap masukan yang LPT berikan.
Salah satu langkah yang dilakukan untuk merespon hasil riset Tutus dan kawan-kawan LPT yaitu dengan melakukan perbaikan terhadap Aplikasi GOBIS. Aplikasi ini adalah aplikasi yang dapat digunakan oleh masyarakat Surabaya untuk memantau layanan Bus Suroboyo dan Feeder Wirawiri Suroboyo. Aplikasi ini masih dikatakan sulit digunakan oleh kaum tunanetra.
Selain itu, ada aturan baru untuk naik Bus Suroboyo dan Feeder Wirawiri Suroboyo. Aturannya yaitu, tidak ada ongkos naik untuk veteran, lansia, anak di bawah 5 tahun, dan teman-teman disabilitas. Dengan kata lain, bisa disebut gratis untuk mereka.
Segala tindakan yang telah dilakukan Tutus Setiawan dan kawan-kawan telah nyata mampu mengobarkan semangat untuk hari ini dan masa depan Indonesia agar lebih baik. Setiap usaha yang dilakukan, memberi secercah cahaya harapan bagi penyandang tunanetra. Harapan agar bisa menyingkirkan stigma negatif dan segala bentuk diskriminasi terhadap mereka. Juga harapan agar mereka bisa memperoleh hak serta fasilitas kehidupan yang lebih layak di masyarakat.
Menjadi penyandang tunanetra bukanlah sebuah pilihan hidup, melainkan sebuah takdir yang harus dijalani di dunia ini. Setiap manusia yang ditakdirkan menjalani perannya di dunia, pasti memiliki makna untuk kehidupan. Jadi, sudah selayaknya setiap manusia untuk memanusiakan sesama manusia. Bukannya mendiskriminasikan manusia lain, memandang dengan sebelah mata, ataupun berperilaku tidak manusiawi terhadap sesama manusia, terutama terhadap kaum disabilitas tunanetra. Mereka juga berhak untuk menikmati hidup layak dan mendapatkan tempat di tengah-tengah masyarakat.
Keluarga pun menyandang peran penting dalam mengondisikan lingkungan yang mendukung terhadap tumbuhnya kemandirian dan kepercayadirian penyandang tunanetra. Pendidikan informal, nonformal, dan formal harus disinergikan demi menciptakan suasana pendidikan yang kondusif bagi mereka. Sebab sudah terbukti, dari sekian cerita para penyandang disabilitas, baik itu disabilitas tunanetra maupun yang lain, dimana mereka tetap bisa meraih kecermelangan sesuai bakat masing-masing. Tentunya dengan support system yang benar-benar bagus untuk menumbuhkan bakat mereka.
Tulisannya menginspirasi sekali kak
ReplyDelete